Oleh: Tgk. Abdul Hamid M. Djamil, Lc. M.Ag*
Nama beliau mulai saya dengar ketika mengeyam pendidikan kelas XI SMA. Setiap pagi Jumat, saya membaca rubrik ‘Konsultasi Agama Islam’ yang diasuhnya di Harian Serambi Indonesia. Beliau mampu menjawab berbagai permasalahan agama dan sosial masyarakat yang rumit dengan penyampaian mudah dipahami dan memuaskan. Saya pun mulai kagum dengan sosok beliau. Suatu ketika, saya bertanya kepada Ayahanda, Waled Nuruzzahri (Waled Samalanga) tentang sosok Abu Muslim.
“Berbicara tentang Fikih, beliaulah orangnya. Di Aceh belum ada orang yang lebih hebat pemahaman Fikih daripada Pak Muslim,” tegas Waled. Hal itu disampaikan Waled saat saya pamit ke Kairo pada 2010 silam. Kala itu saya belum pernah bertemu dengan Abu Muslim.
Pada 2016 saya bersyukur sempat diasuh mata kuliah Fikih Muamalat oleh Abu Muslim di Pascasarjana UIN Ar-Raniry. Pertama masuk ruang, Abu memperkenalkan diri, lalu meminta kami juga memperkenalkan diri. Dalam sesi ini, teman-teman saya menanyakan banyak hal tentang hukum ke Abu, terutama pandangan Abu Muslim terhadap Perbankan Syariah.
Saya justru menanyakan hal lain yang sama sekali tidak ada hubungan dengan ilmu, yaitu perjalanan panjang Abu Muslim dalam menggali ilmu. Beliau menjelaskan secara singkat masa kecilnya, merantau ke Banda Aceh, dan alasan beliau meninggalkan studi semester III di Prodi Bahasa Arab UIN Ar-Raniry menuju Universitas Al-Azhar Kairo. Di Mesir, proses belajar Abu Muslim banyak tantangan, bahkan hampir harus mendekam dalam penjara.
Kisah singkat yang diceritakan dalam ruang itu membuat saya penasaran. Saya ingin tahu lebih dalam bagaimana perjalanan belajar beliau. Di akhir kelas, saya menyampaikan niat tersebut. Lalu Abu Muslim memberikan kontaknya dan meminta untuk datang ke rumahnya setelah shalat asar.
Abu Muslim sosok yang apabila penasaran pada sesuatu, maka ingin tahu detail dan mendalam hal tersebut. Dan beliau mempertaruhkan hidupnya untuk mengetahui hal itu, meskipun harus meninggalkan orang tua, keluarga dan tanah airnya. Hal ini dapat dilihat misalnya pada alasan mengapa beliau ke Banda Aceh dan ke Mesir.

Penulis bersama alm. Prof Abu Muslim Ibrahim
“Suatu sore saat pulang kampong dari sekolah di PGA Lhokseumawe, di masjid dekat rumahnya, Abu melihat beberapa orang melaksanakan shalat magrib dengan cara berjamaah. Lalu datang dua orang lagi mendirikan jamaah yang lain. Kemudian datang dua orang lagi membuat jamaah baru. Hingga ada empat jamaah dalam satu waktu,” terang Abu Muslim. Kejadian itu membuat Abu Muslim penuh tanda tanya. Apakah ini yang dimaksud dengan mazhab yang empat?
Beliau lalu menanyakan hal tersebut kepada ayahnya, Tengku Ibrahim. Sang ayah meminta Muslim kecil untuk terus belajar. Esok hari Abu Muslim kembali ke Lhokseumawe dan berazam ingin menanyakan masalah itu kepada guru favoritnya. Namun sang guru enggan menjawab, meskipun Abu Muslim sudah tiga kali bertanya. Malah sang guru marah dan meminta Abu Muslim keluar kelas dan ujian dengan guru itu pun diskor. Sikap guru itu membuat Abu Muslim sedih. Disisi lain membuat Abu Muslim termotivasi. Sejak kejadian itu, Abu menyimpan pertanyaan itu dalam hatinya, beliau ingin mencari sendiri jawabannya.
Selesai di PGA, Abu Muslim ke Banda Aceh mengambil jurusan Bahasa Arab, dengan cita-cita bisa Bahasa Arab lalu mencari sendiri jawabannya di kitab turast. Namun ketika dicek silabus, ternyata belajar di jurusan itu tidak yakin mendapat jawaban terhadap kejadian yang disaksikan di masjid kampungnya tahun lalu.
Setahun lebih di Banda Aceh, Abu Muslim mendapatkan informasi bahwa Universitas Al-Azhar memberikan beasiswa untuk tujuh orang pelajar Indonesia. Abu ikut tes mengalahkan utusan 13 IAIN seluruh Indonesia, akhirnya Abu lulus dan mengambil jurusan syariah Islamiyah di Al-Azhar, lalu melanjutkan s2 dan s3 tanpa pulang ke Aceh selama 12 tahun lebih.
“Saya baru dapat jawabannya ketika menulis disertasi. Jika setelah s3 saya belum mendapatkan jawaban terhadap masalah empat jamaah magrib di masjid kampong saya, maka saya tidak akan pulang sampai hari ini,” tegas beliau.

Penulis sedang mewawancarai Abu Prof. Muslim
Abu Muslim sosok yang cinta dan bangga menjadi orang Aceh. Hal ini dapat dilihat pada dua peristiwa bersejarah yang dilaluinya, dimana beliau menolak tawaran dan tidak ingin meninggalkan Mesir demi Aceh, demi anak-anak Aceh. Proposal Disertasi yang diajukan pertama kali di tolak. Abu habis visa. Setelah 14 hari hidup di Mesir tanpa visa, Abu ditangkap. Dan diminta menuju persidangan. Abu diberikan tiga pilihan: Membayar denda sebanyak 3500 Le, dideportasi ke Indonesia atau masuk penjara.
“Saya saat itu tidak punya uang, beasiswa sudah diputuskan karena proposal disertasinya tidak lewat sidang. Untuk hari-hari saja saat iti harus menjual baju dan buku. Saya tidak mau dipulangkan ke Indonesia karena masih ingin menyelesaikan doktor di Al-Azhar. Akhirnya saya pilih masuk penjara tapi saya diminta diizinkan untuk bisa membawa buku dan komputer agar saya tetap bisa menulis. Saya yakin hanya karya itu berguna untuk anak cucu saya di Aceh” ungkap Abu Muslim di hadapan sidang Majlis Hakim Mesir.
Namun pada akhirnya Abu tidak jadi masuk penjara, karena ada seorang warga Mesir baik hati yang menjamin Abu. Abu merupakan mahasiswa wafidin termuda pertama yang terdaftar sebagai mahasiswa program doktor pada jurusan Fikih Perbandingan Mazhab dan mahasiswa pertama se-Asia Tenggara untuk jurusan itu. Judul disertasinya “Nadhariyyat al-Iqalah fi al-Fiq al-Islamy Muqaranah” mengantarkan Abu menyabet predikat Summa Cumlaude di kampus Islam tertua di dunia itu.
Pencapaian hebat dari putra Aceh itu mengundang perhatian banyak orang. Hingga seorang warga Aceh yang sudah lama menetap di Saudi, Syehk Abdul Ghani Al-Asyi (Sekretaris Jenderal Palang Merah Negara-Negara Arab) mengarungi laut merah ke Mesir berjumpa Abu ingin dibuat syukuran di hotel mewah di Mesir. Abu menolak syukuran dalam bentuk itu, sebagai gantinya Abu meminta dibawa haji dan umrah. Syekh tersebut setuju. Di Mekkah, disertasi Abu diminta untuk dicopy oleh Universitas Ummul Qura dan Abu diminta menjadi dosen di situ. Kepada Abu diberikan formulirnya, harapan mereka Abu mau. Tapi Abu berkata:
“Saya sudah 12 tahun lebih tidak pulang kampong. Dalam masa yang cukup lama itu saya jauh dari orang tua. Jangankan berbakti, dekat dengan mereka saja saya tidak ada,” jawab Abu. Akhirnya Abu pulang ke Aceh. Dan formulir itu tidak dibalas. Abu ingin hidup di Aceh mendidik generasi Aceh daripada berkarir di luar negeri.
Selamat jalan Abu, guru dan orang tua kami terbaik yang memberikan nasihat kehidupan. Semoga Allah Swt meluaskan kubur, dan mengampunkan kesalahan Abu.
*Dosen di STIS Ummul Ayman, Pidie Jaya, dan Kandidat Doktoral di Sudan