Oleh: Ulfa Mahira*
Delapan tahun, waktu yang sedikit untuk menetap dan tinggal di Ummul Ayman. Nama salah satu dayah di Aceh bertempat di Kecamatan, Samalanga Kabupaten Bireuen. Samalanga ini kerap kali disebut sebagai kota santri. Selain mengaji, saya juga belajar formal di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Ummul Ayman Semester V, Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES).
Saya masuk ke Ummul Ayman tahun 2013. Saat itu santriwati di Ummul Ayman putri hanya berkisar kurang lebih 300 orang. Tepatnya, saya adalah angkatan ke-9 di dayah yang didirikan oleh Syaikhuna Tgk H. Nuruzzahri Yahya (Waled Nu) ini.
Dalam kurun waktu Delapan tahun berbagai tantangan yang datang bukan hal mudah saya dan puluhan teman lainnya di hadapan. Contohnya saja di awal-awal, banyak di antara kami yang menangis karena alasan rindu; rindu orang tua, rindu masakan mamak, rindu kampung halaman dan sebagainya.
Tidak sedikit pula diantara kami yang tidak betah lalu memutuskan untuk pindah sekolah, sehingga santri-santri yang lain pun ikut goyah. Tak hanya itu, bosan mengikuti kegiatan dayah yang monoton, itu-itu saja kerap kali menghampiri. Dan terkadang royong beramai-ramai saat kelas lain harus mengikuti sesuatu yang ditunggu-tunggu, hal itu memang terlihat simpel sekali, tapi bagi kami para santri hal itu menjadi kesenangan tersendiri untuk menghibur diri.
Lambat laun waktu berlalu siapa sangka, berkat doa dan dukungan orang-orang tercinta kini kami masih bertahan di dayah. Bahkan diantara kami ada yang sudah menjadi guru. Betapa bangganya orangtua kami, saat menyadari dan mendapati bahwa dulunya cengeng kini telah mengabdi untuk dayah.
Kulliyatul Mu’allimin; ‘Bapak-Teungku – Ibu-Ummi’
Dulunya, Ummul Ayman hanya memiliki pendidikan jenjang SMP dan MAS saja. Seiring berjalannya waktu, Ummul Ayman pun berkembang pesat, lalu membuka perkuliahan sekaligus Kulliyatul Mu’allimin. Mahasiswa di dunia perkuliahan dan Mahasantri di Kulliyatul Muallimin.
Syaikhuna Waled dengan STIS Ummul Ayman bersama sistem dayahnya (Kulliyatul Mu’allimin –red) menargetkan anak didiknya agar menjadi ‘Bapak-Tengku’ untuk laki-laki dan ‘Ibu-Ummi’ untuk kami yang perempuan. Artinya, setamat dari sini, kami bisa menjadi ‘ibu’ di dunia sekolah dan ‘ummi’ di dunia kedayahan; mampu mensinergikan kedua ilmu tersebut.
Aktivitas mahasantri di Kulliyatul Muallimin terbilang sama dengan santri-santri lainnya. Saat matahari mulai meninggi pukul 09.00-11.00 WIB kami mulai mengaji dan menelaah kitab-kitab Arab. Memakai pakaian rapi serta jelbab putih, jangan lupa cadar untuk menutupi wajah.
Khusus dengan kelas ruang saya, saya bersama belasan teman lainnya diajari oleh guru laki-laki. Kami menyebut beliau dengan panggilan ‘ustad’. Kitab-kitab Arab klasik yang kami jelajahi diantaranya Minhajutthalibin karangan salah satu Imam besar, yakni Imam Nawawi penggemar ilmu fiqh, Alfiyah Ibnu Malik penggemar ilmu nahwu, kitab Sirajuthalibin penggemar ilmu tasawuf disertakan juga kitab melayu seperti kitab Delapan karangan beberapa ulama Aceh.
tujuannya sebagai bekal kami agar nanti dapat menyebarkannya kepada keluarga-keluarga kami; nek, abu, makchik, makwa kami di rumah serta masyarakat umumnya. Dua kali seminggu kami belajar dengan Waled di Ummul Ayman Bustanussaban. Letaknya tak jauh dari Ummul Ayman induk.
Semburat pagi yang dipancarkan di perkampungan Gampong Putoh. Kami ramai-ramai menuju ke sana dengan berjalan kaki. Walaupun begitu kami tetap semangat. Menyusuri jalan melewati melewati Dayah Muslimat, Ummul Ayman putra serta Baitul Ihsan. Berjalan berderet bagai semut, dengan ija pinggang (kain sarung), jelbab putih, cadar, kaos kaki dan memegangi kitab. Sempurna sudah kami menjadi pusat perhatian penduduk kampung pagi itu.
Sesampainya disana, Waled mulai mengajar kitab Waraqat fan ilmu Usul Fiqh. Di sela-sela mengajar, beliau tidak lupa mengingatkan dan menasehati kami pentingnya beliau mempelajari ilmu agama dan berulangnya. Di usia senjanya, beliau masih sangat bersemangat mengajar. Betapa hati ini terkagum-kagum dengan sosok Waled. Keramahan beliau dengan menyunggingkan senyuman dan bertanya kepada anak didiknya membuat hati terpana akan sosoknya.
***
*Mahasiswi dengan hobinya membaca dan menonton. Sekarang, ia duduk di semester V Prodi Hukum Ekonomi Islam (HES). Ustadza, putri dari Bapak alm. Abdullah ini berasal dari Ronga-ronga, Bener Meriah.