Oleh: Intan Dian Anggia*
Saya ingin sedikit bercerita tentang pengalaman suluk di Dayah Ummul Ayman. Sebelum memasuki ke alur cerita maka sebaiknya saya jelaskan dulu apa itu suluk. Suluk adalah perjalanan Ruhani seorang hamba dengan tujuan untuk mendekatkan diri, memohon ampunan, dan berkehendak mendapat rida Allah ta’ala dengan melalui tahapan-tahapan penyucian jiwa (tazkiatun nafsi) yang dipraktekkan ke dalam latihan-latihan ruhani secara istikamah dan mudawamah (selalu). Di Aceh, ritual ini lebih akrab dikenal dengan istilah ‘Sulok’.
Ramadan tahun itu: 2021. Saya melaksanakan suluk hanya 10 hari. Suluk itu dipimpin oleh guru kami, Abi Abdul Malik –buah hati keenam dari Syaikh Waled Nuruzzahri, Pimpinan Dayah Ummul Ayman, tempatku menimba ilmu. Saidul khulafanya ialah Tgk. Subhan, guru malam saya.
Malam pertama tameng sulok, niatnya ngga spesifik sih, mungkin karena kepo bagaimana sulok itu dan juga karena ada yang mengajak. Itu adalah sulok pertama kali yang diadakan di Dayah Ummul Ayman Putri. Belum pernah diprogramkan sebelumnya.
Biasanya di bulan Ramadhan hanya ada program khulwah/khalut, yang diwajibkan bagi dewan guru yang ingin menikah dan program-program lain seperti pengembangan bahasa, daurah IKABUA, dan micro teaching untuk pembekalan dewan guru baru dari kelas VII atau VIII sebelum mengajar.
Tameng Sulok
Metode tameng sulok itu harus memulai dengan mengambil ijazah thariqat kepada Mursyid kami, Syaikh Waled Nuruzzahri bin Yahya. Beliau memberikan ijazah thariqat disertai dengan lafadz ‘ajaztukum’ (telah saya ijazahkan kepada kalian), dan yang menerima thariqat tersebut menjawab dengan ‘qabilna’ (telah kami terima) atau ‘qabiltu’ (telah saya terima).
Proses pengambilan thariqat sudah dimulai pada awal Ramadhan. Seluruh santriwati yang berada di dayah ketika Ramadhan wajib mengambilnya. Setelah mengambil thariqat sulok bukan berarti kita sudah dikatakan ‘tameng sulok’. Untuk ‘tameng sulok’ kita harus berniat terlebih dulu.
Sesudah berniat, maka berlakulah pantangan berupa: tidak boleh memakan makanan yang mengandung hewani, seperti susu, telur, keju, ikan, ayam, dan daging. Kemudian harus irit bicara, yang biasanya kita suka ceplas-ceplos, bicara, lebih-lebih berghibah maka di dalam sulok itu sangat dilarang.
Juga yang harus dijaga adalah pandangan, menjaga pandangan di sini bukan hanya menjaga dari tidak melihat lawan jenis, tetapi juga menjaga dari segala sesuatu yang membuat lalai. Biar lebih mudah menjaga pandangan, para jamaah dianjurkan memakai ridak/kain untuk penutup kepala.
Di sini agak sama seperti metode ‘khalut’, bedanya, khalut wajib menutup kepala dan seluruh tubuh, bahkan tidak boleh sampai ada yang melihat wajahnya dan dia tidak boleh melihat wajah orang lain. Ini merupakan adab-adab di dalam sulok, meskipun begitu tidak boleh dilanggar.
Tameng sulok boleh kapan saja dan ada pilihan durasinya. Ada yang 10 hari, 20 atau full 30 hari. Sulok itu bukan tentang patokan hari tapi tentang pelajaran yang diberikan dan yang kita amalkan di dalamnya. Sebelumnya, awal-awal Ramadhan, saya belum berkeinginan tameng sulok, karena saya bersama teman-teman seangkatan sedang mengikuti program micro teaching. Jadi saya rasa bisa mengurangi fokus nanti jika dibarengi ibadah sulok (baca: tawajoh).
Keinginan muncul karena setiap malam selepas shalat isya sebelum tarawih, Ustad menanyakan siapa lagi yang mau bersuluk, ditambah dengan penjelasan panjang lebar tentang sulok, manfaat dan hikmahnya. Juga setiap malam ada jamaah yang tameng sulok; makin hari makin bertambah, dan mereka semuanya lelaki. Dari jamaah wanita tak ada yang ikut sama sekali, karena kami dituntut agar focus di micro-teaching.
“Namun kalau ada yang mau ikut, lebih baik,” ujar Ustadz.
Disitulah hatiku tergerak, jadilah malam ke 20 Ramadhan saya tameng sulok. Saya sadarkan diri bahwa saya harus mematuhi pantangan yang mungkin agak berat karena niat saja belum mulus kurasa. Malam itu kami bertiga sepakat memulai ritual itu. Satu kawan seangkatan denganku. Satu lagi seorang ustazah. Di antara kami bertiga hanya kawanku yang berpengalaman ikut sulok di Dayah Mudi Mesra.
Karena banyak pantangan yang harus kami jalani, kamar para jamaah sulok harus pisah dari yang lain. Kami pindah ke satu bilik dekat musala, dekat dengan kamar mandi dan jauh dari bilik yang keramaian. Benar-benar mengasingkan diri.
Awal-awalnya saya merasa berat dan agak menyesal karena ikut-ikutan, sekarang saya berada di dua program sekaligus, micro teaching dan sulok. Micro teaching masih berlangsung hingga lima hari kedepan, sampai puasa ke 26.
Beratnya, karena saya harus mengejar waktu dan harus menyeimbangi dua program tersebut, dimana ritual-ritual yang berlangsung selama sulok yaitu: ibadah-ibadah wajib seperti shalat 5 waktu, sunat rawatib, Duha, tahajud, witir, puasa, tarawih, tadarus Al Qur’an, serta tawajjuh yang dipimpin oleh mursyid.
Secara bahasa, tawajjuh bermakna ‘menghadap’. Kemudian kegiatan-kegiatan sosial seperti gotong-royong setelah shalat Duha dan menyiapkan menu bukaan ketika menjelang magrib bersama. Sedangkan program micro teaching berlangsung setelah shalat Dhuha dari jam 9-11, setelah duhur dari jam 14.15 hingga 16.00. Bisa dibayangkan betapa padatnya jadwal karena mengikuti dua program tersebut sekaligus. Namun, hari ketiga keempat saya mulai terbiasa; sudah tidak merasa terbeban.
Puasa ke 26 program micro teaching selesai, tetapi saya masih berada dalam program sulok. Saya merasa lebih ringan karena tidak lagi harus mengejar waktu. Sulok terus berlanjut hingga malam pertama Idul Fitri. Tepat di malam lebaran kami berbuka pantangan dengan menyantap kuah Beulangong yaitu gulai kambing khas Aceh Besar. Ini merupakan tradisi jamaah sulok ketika mereka keluar yaitu berbuka pantangan dengan memakan-makanan yang dilarang ketika masih di dalam sulok, gulai kambing misalnya.
Hikmah yang bisa saya ambil ketika sulok maupun ketika setelah keluar dari sulok yaitu hati menjadi tenang, beban serasa hilang dikarenakan dekat dengan Allah Swt. Saya tidak tahu bagaimana rasanya menjadi seorang Mursyid maupun Saidul khulafa yang lebih dekat lagi dengan rabbnya. Pasti hati mereka jauh lebih aman dan tentram.
Saya saja yang niatnya tidak lurus saya bisa merasakan nikmatnya bersuluk. Indah sekali menangis sesenggukan memohon ampun kepada Allah, walaupun kita tidak tahu apakah dosa kita diampuni atau tidak oleh-Nya, tapi itu sangat membuat hati menjadi damai, karena memang sulok adalah ritual perjalanan ruhani seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Pembaca budiman, jika ingin merasakan menangis sejadi-jadinya mengingat dosa maka bersuluklah, karena kita akan dipandu bagaimana cara menangis mengingat dosa oleh Mursyid ketika bertawajjuh, karena menangis adalah bagian dari penyesalan dan solusi dari penyesalan adalah bertaubat. Wallahu a’lam. []
***
*Penulis merupakan mahasiswi aktif di STIS-UA. Saat ini duduk di Semester IV Prodi Hukum Keluarga Islam (HKI). Putri kelahiran 2 April 2002 ini merupakan ananda dari Bpk. M. Zainal dan Ibu Fauziah, asal Meureudu, Pidie Jaya. Penulis aktif mengikuti dan menjuarai berbagai event dan perlombaan baik tingkat kabupaten dan provinsi seperti juara 3 MTQ tingkat kabupaten Pidie Jaya cabang perlombaan Tilawah Remaja dan mewakili STIS Ummul Ayman mengikuti perlombaan Syarhil Quran pada event UIN Fair. #mahasiswi_menulis #stis_ua #pidie_jaya
Editor: MAA.