Oleh: Mizaiturrahmi*
‘A strong hope can make your dreams come true.’ (Sebuah harapan yang kuat dapat membuat mimpi kamu menjadi nyata). Itulah motto saya dalam meyakinkan diri untuk mampu bertahan dengan waktu yang lama di dalam dayah. Dayah yakni suatu lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari bangunan, balai-balai dan bersistem asrama.
Dalam istilah Bahasa Indonesia yang benar, dayah dikatakan juga dengan istilah ‘pesantren’. Pesantren merupakan salah satu lembaga yang telah dibangun bahkan lebih tua dari usia Indonesia ini sendiri. Tidak salah jika Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat kuat dalam membudidayakan dan memberikan perhatian khusus kepada pesantren-pesantren..
Jauh sebelum Indonesia mengenal Islam, dunia telah mengenalkan pesantren. Meski namanya berbeda, akan tetapi prinsip dan latar belakangnya tetap sama. Tipologi dalam membangun pesantren juga dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya dari suatu daerah. Namun, tujuannya tetap sama yaitu ilmu (pengetahuan agama Islam) dan disertai akhlakul karimah.
Mayoritas pesantren –pada dasarnya- lebih mengarah kepada pengajaran kitab-kitab turast (klasik) baik dalam bidang fiqh, tasawuf maupun ilmu bahasa. Konsep seperti ini digunakan oleh dayah-dayah salafiyah. Ada juga pesantren yang memfokuskan kepada pengajaran Al-Quran saja dan tidak sedikit pesantren yang memadukan antara pengetahuan ilmu agama dengan pengetahuan umum (sekolah). Yang terakhir ini lebih dikenal dengan istilah ‘dayah semi modern’.
Saat ini saya berdomisili di Dayah Ummul Ayman, di bawah asuhan Tgk. H. Nuruzzahri Yahya (Waled Nu). Yayasan ini berpusat di desa Kampong Putoh, kecamatan Samalanga, kabupaten Bireuen. Mugkin Anda pernah mendengar Dayah Mudi Mesra, nah Ummul Ayman ini berjarak sekitar 100 meter dari dayah terbesar di kabupaten Bireuen itu.
Dayah Ummul Ayman ini termasuk di antara salah satu dayah yang menggabungkan antara pengajaran kitab dayah-dayah salafiyah dan pengetahuan umum. Tak hanya belajar kitab-kitab kuning, di sini saya juga melanjutkan pendidikan formal saya di jenjang kuliyah. Pagi dan malam saya mengaji kitab, sedangkan siang dan sore, saya mengikuti pelajaran-pelajaran kuliah. Menjadi manusia yang hidup di zaman milenial ini tentu harus mengikuti perkembangan zaman. Itulah salah satu alasan lahirnya pesantren semi modern ini.
Akhir-akhir ini, ada orang-orang tua yang beranggapan bahwa seorang santri tidak ada masa depan, tidak bisa berbaur dengan masyarakat. Pikiran negatif semacam itu kian marak digulirkan di tengah-tengah masyarakat sehingga banyak dari orang tua yang menciut keinginannya untuk mengantarkan buah hatinya ke pesantren, dengan alasan takut tidak ada masa depan.
Sejak masuk tahun 2012, tentu sudah banyak pengalaman yang telah saya peroleh. Baik dari segi keilmuan maupun terkait tentang ilmu berkehidupan. Dari segi keilmuan, awal mula niat saya menuntut ilmu yakni untuk menghilangkan kebodohan saya dalam beragama yang benar dan sesuai dengan tuntutan syariat. Seperti diketahui, bahwa untuk menuju ke titik terang (beragama yang benar) yakni melalui jalan yang tepat, salah satu medianya yaitu dengan menuntut ilmu agama.
Dalam hal ini, izinkan saya mengutip sepatah qoute dari seorang filsuf Jerman, Nicolaus Cusanus atau juga dikenal dengan Nicholas of Kues yang berpandangan bahwa ‘manusia itu adalah makhluk hidup yang selalu melakukan perjalanan, dalam perjalanan itu dibutuhkan ilmu pengetahuan. Semakin banyak pengetahuan yang ia perlukan maka ia semakin menyadari betapa bodohnya dirinya’. Pendapat ini diabadikan dalam istilah ‘dedoctaignorantia’ (ketidaktahuan yang terpelajar, learnedignorance).
Terlepas siapa mereka yang berpendapat dan apa latar belakangnya yang terpenting adalah pandangan positif yang ia berikan bagi ilmu pengetahuan. Manusia tidak akan pernah puas akan ilmu jika ia menyadari betapa bodoh dirinya. Sehingga virus negatif kebodohan, semakin lama akan terkikis oleh kemauannya yang selalu mau belajar. Maka senada dengan inilah, kita diperintahkan menuntut ilmu mulai dari buaian hingga ke liang lahad.
Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah kesuksesan dalam menuntut ilmu tidak dipengaruhi oleh status ekonomi seorang santri. Dalam arti lain, menuntut ilmu bukan tentang siapa yang akan kaya dan miskin. Akan tetapi, siapa yang lebih lama mempertahankan (istiqamah) dan bersungguh-sungguh ketika menuntutnya.
Mengasah Nalar dengan Menulis
‘Siapa yang bersungguh-sungguh pasti dapat ia.’ Pepatah ini yang selalu menjadi penyemangat saya dalam bersungguh-sungguh ketika belajar. Saat ini saya mendalami ilmu literasi (tulis-menulis). Sebagai seorang mahasantriwati dan mahasiswi di STIS, tentu tak lepas dari yang namanya menulis. Kuliah dan menulis merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan.
Hobi menulis saya sebenarnya sudah terasah mulai saya di jenjang sekolah menengah pertama. Ketika itu, saya paling suka jika guru-guru sekolah meminta kami untuk membuat karangan. Bagi saya, menulis, awalnya adalah menulis. Tidak harus banyak teori.
Semangat literasi semakin memuncak ketika saya masuk di STIS. Di awal pengenalan kampus, seperti mahasiswi-mahasiswi di universitas lainnya juga, kami di STIS juga ada Ospek. Salah satu yang tertantang ketika itu adalah diadakannya sayembara menulis karya ilmiah.
Betapa terkejutnya saya ketika di hari pengumuman, karya tulis saya bertengger di posisi teratas sebagai juara pertama. Bahagianya bukan kepalang. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Meski hanya suka mencorat-coret, tapi tak pernah mempredeksi diri akan keluar sebagai juara. Tapi saya yakin itulah berkat kegigihan dan kemauan keras saya untuk sukses dalam dunia menulis. Lagi-lagi man jadda wajada.
Tak sekadar sampai disitu, saya semakin menarik untuk memasuki lebih dalam di dunia menulis. Melalui media sosial, saya mengikuti berbagai even menulis, baik yang berupa puisi maupun cerita pendek (cerpen) maupun kisah-kisah inspiratif.
Syukur kepada Allah, Allah tidak mengkhianati usaha hambaNya. Salah satu karya saya terpilih dan dibukukan dalam buku antologi, saya sebut saja namanya ‘Pengalaman Hidup, the Best of Motivator’. Coretan saya yang berjudul ‘Masa Depan, Skenario Tuhan’ itu bersanding dengan 36 penulis lainnya.
Dari pengalaman ini, bisa saya simpulkan bahwa kesuksesan seseorang dalam menuntut ilmu tak dipengaruhi di instansi mana ia belajar. Namun metode dan kesungguhannyalah yang menjadi penyebab seseorang sukses atau tidak. Namun, saya selalu berpegang bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan kesungguhan hambaNya.
Gelar santri bukan disandang hanya karena tempat semata ia menuntut, melainkan merupakan karakter yang selalu melekat. Apapun profesi yang ia geluti, nilai-nilai kesantrian itu akan terbawa searus dengan kehidupan. Banyak kaum santri yang sudah berhasil. Mereka membuktikan bahwa santri tidak ketinggalan zaman, santri punya masa depan baik duniawi maupun ukhrawi. Syedara lon, bukankah masa depan yang hakiki itu adalah kehidupan di akhirat nanti?!
***
*Putri asal Cot Lheue Rheng, Trienggadeng, mahasiswi semester VI STIS Ummul Ayman.
**Tulisan ini telah dimuat di Serambi Indonesia, rubrik Jurnalisme Warga, edisi Rabu (08/09/21): https://aceh.tribunnews.com/2021/09/08/melukis-asa-di-balik-dinding-pesantren