*oleh: Mizaiturrahmi, SH, alumnus STIS Ummul Ayman, saat ini mengabdi di Dayah Ummul Ayman Samalanga
Agama beuteudong, Usaha beu teuglong. Ekonomi bek kosong, Rakyat beu carong!
KATA mutiara dalam Bahasa Aceh di atas bisa kita terjemahkan ‘jika ingin agama tetap berdiri kokoh maka usaha jangan sampai berhenti dan jika ingin ekonomi lancar maka rakyat harus pintar’. Dalam dunia perekonomian tentu tidak asing lagi dengan istilah fluktuasi (periode pertumbuhan atau ekspansi) dan resesi (periode penurunan atau pelemahan). Hal ini diakibatkan oleh salahnya metode penerapan perekonomian serta keserakahan para entrepreneurnya, lantas bagaimana solusinya? ‘Ekonomi Syariahlah’ jawabannya.
Bukanlah bulshit (omong kosong) jika ekonomi syariah dengan big powernya mampu bertahan dalam kondisi krisis ekonomi. Pada tahun 2008 ketika terjadinya krisis global, banyak intitusi keuangan anjlok (tumbang) bahkan intitusi sebesar Lehman Brothers tidak selamat padahal jika milihat usianya sudah lebih dari 100 tahun berdiri. Kendati demikian Ekonomi Syariah tetap bertahan dan tumbuh di tengah terpaan krisis. Selanjutnya pada masa Covid-19 dengan fenomena krisis ekonomi yang mendunia, tetapi Indonesia mampu bertahan dengan latar belakang Ekonomi Syariah.
Berdasarkan data, pada Juli 2020 aset keuangan syariah tumbuh hingga 20,61 %. Walau jumlahnya sedikit, tetapi Ekonomi Syariah membuktikan esensitasnya yang membuat pemerintah berinisiatif meningkatkan Ekonomi Syariat dan bahkan sekarang hampir seluruh intitusi keuangan di Indonesia berlabelkan syariah. Jauh sebelum masyarakat milenial mengenal Ekonomi Syariah baik negara muslim atau non-muslim, Rasulullah Saw telah menjadi Entrepreneuer sukses yang memperkenalkan umat Islam bagaimana aplikasi ekonomi yang bijak dan benar. Hal itu terbukti dengan penerapan dan pembelajaran yang tidak hanya dilakukan oleh umat Islam sendiri melainkan sangat banyak non-muslim yang mempelajari bahkan memasukkan sistem Ekonomi Syariah ke dalam daftar pembelajaran.
Indonesia merupakan negara dengan presentase muslim terbanyak sehingga tidak heran banyaknya pesantren (tempat pendidikan Islam) menghasilkan berjuta santri yang berjuang menegakkan syariat Islam terutama dalam bidang ekonomi. Ekonomi diyakini menjadi hal terpenting yang dapat menyejahterakan hidup sehingga lirikan para santri yang telah dibekali ilmu pengetahuan sangatlah penting.
Allah Yang Maha Tinggi berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan jangan juga kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Q.S Al-Anfal: 27)
Kisaran tahun 90-an nama untuk para santri khususnya Aceh dikenal dengan aneuk dagang (pedagang) dalam artian mereka mencari ilmu yang cukup kemudian pulang kampung dengan mengambil alih profesi dagang sehingga banyak dari santri yang tamat belajar kitab mu’amalah/buyu’ (transaksi/jual beli) mereka berkelana ke luar untuk menjadi santripreneuer. Kondisi ini bukanlah tanpa dasar melainkan meniru salah satu profesi yang sangat mulia dan membekas bagi umat muslim yaitu profesinya Baginda Rasulullah Saw.
Sebagai agent of change, seorang santri harus memiliki ilmu dan wawasan yang memadai sebelum terjun ke dunia bisnis (ekonomi syariah). diyakini mampu menerapkan ekonomi syariah secara sempurna tidak sedikit para entrepreneuer berasal dari seorang santri, bahkan politisi hingga teknorat berasal dari pesantren. Sebagai contohnya adalah Perdana Menteri pertama diduduki oleh Gus Dur, Idham Khaliq bahkan Cambrige University memberikan penghargaan kepada pesantren, di antaranya KH Imam Zarkasyi (Pimpinan Pondok Pesantren Gontor) yang mendapatkan sertifikat ‘Leadership Achievement’ atas jasa pembangunan masyarakat.
Contoh di atas hanya sebagian kecil orang-orang hebat yang berasal dari pesantren. Jika ingin disebutkan mungkin masih banyak lembaran yang dibutuhkan. Berbicara tentang ekonomi syariah, pembahasannya tidak mandek hanya pada uang ataupun bank. Namun, juga tertuju kepada makanan-makanan yang masih diperjualbelikan tanpa label halal dan tidak melalui prosedur kehalalan. Tentu hal ini yang segera harus di atasi oleh para santri termasuk produk boikot yang sudah ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) keharamannya.
Adapun untuk menuju ekonomi syariah langkah yang harus diambil oleh santri adalah sebagai berikut:
Pertama: Pengetahuan. Menjadi santri bukan hanya menetap di pondok, akan tetapi juga dibekali oleh ilmu-ilmu syariat yang berasal dari Alquran, Alhadits, Ijmak dan Qiyas. Pengetahuan yang memadai akan menentukan usahanya berumur panjang atau pendek. Karena sebelum mencerdaskan bangsa, harus mencerdaskan diri sendiri terlebih dahulu
Kedua: Percarya Diri atau Self Image. Self Image dipercaya dapat mengubah dan menentukan nasib selanjutmya. Self Image juga merupakan kunci kepribadian dan perilaku manusia sebagaimana yang dikatakan oleh Maxwell Maltz dalam bukunya, “Ketika seseorang yakin akan satu hal dan konsisten berubah atau merubah maka dalam ilmu psikologi hanya butuh 21 hari untuk ia berhasil”. Maxwell Maltz juga mengatakan, “Waktu akan berubah lebih baik ketika Anda berubah.” Maka percayakan sepenuhnya kepada potensi yang Anda dimiliki untuk menghasilkan yang terbaik.
Ketiga: Kecerdasan Finansial. Setiap sekolah pasti mengajarkan bagaimana caranya kaya, mencari nafkah dan berbisnis hingga ia menjadi seoarang entrepreneuer sukses. Akan tetapi lupa mangajarkan bagaimana cara ia menjaga kekayaannya ataupun jabatannya hingga bertahan lama. Akibatnya, kecerdasan finansial setiap orang rendah. Sebagai salah satu buktinya ada pada negara Amerika, sebagai negara yang maju di bidang ekonomi dan keuangan ternyata orang kaya di Amerika hanya 1% saja. Masih di negara Amerika, para pemenang lotere sekitar 90 % (250.000 $ atau 4 milyar) akan jatuh miskin 3 tahun setelah memenangkan lotere. Sekarang kita beralih ke Indonesia, berdasarkan penelitian majalah Swa 80 % professional berpenghasilan besar seperti, pengacara, direktur, dokter akan jatuh miskin di masa tua. Dan penyebab itu semua adalah tidak adanya kecerdasan finansial yang dapat menyeimbangkan pertahanan kesuksesan.
Jika kita lihat kurikulum dan penerapan pesantren, para guru tidak hanya membekali mereka dengan ilmu, tetapi secara tidak langsung mereka mengajarkan dan membangun kecerdasan finansial peserta didik mulai dari akhlak, kedisiplinan, mandiri, sabar, manajemen keuangan, tidak boros, ikhlas dan selalu bersyukur. Poin-poin ini mungkin susah didapatkan secara instan oleh peserta didik di sekolah-sekolah umum dengan pengawasan atau jam belajar yang terbatas.
Keempat: Akhlak dan Moralitas. Pada dasarnya anak itu dilahirkan dengan kesucian dan kebaikan, tapi orang tua dan lingkungannya yang membara virus-virus kerusakan. Bersyukur kita terlahir dari orang tua yang bergama Islam dan berlingkungan dengan lingkungan yang islami serta berkesempatan meneguk ilmu di pesantren yang notabene-nya adalah memang tempat yang diperuntukkan untuk belajar agama dengan fokus.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda,
Dari Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu berkata, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah (suci). Kemudian kedua orangtuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?” (HR. Bukhari, No. 1296, Kitāb: Jenazah, Bāb: Pembicaraan Tentang Keberadaan Mayit dari Anak-Anak Kaum Musyrikin).
Ketika seorang santri terjun ke dunia bisnis maka tidak cukup berbekal pengetahuan saja, tetapi dibutuhkan akhlak terpuji sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah Saw dalam perdagangannya yaitu dengan bersifat jujur, amanah dan menepati janji
Kelima: Inovasi dan Kreativitas. Hidup dalam Revolusi Industri 5.0 dengan perkembangan teknologi yang sangat signifikan seharusnya menjadi objek bagi santri dalam mengepakkan sayapnya menyebarkan ekonomi berbasis syariah. Dengan demikian sarana mengembangkan Ekonomi Syariah tidak hanya tersebar di satu tempat melainkan bisa mendunia. Walau gaya santri terkesan identik dan mereka hidup dibalik gerbang pesantren, akan tetapi tidak dapat membuat pikiran mereka primitif. Wawasan dan gaya berpikir yang telah dilatih pesantren dapat dimanfaatkan oleh seorang santri dalam menyeimbangkan antara dunia dan akhiratnya. []