Oleh: Farhanarrizky*
Setiap tahun rakyat Indonesia merayakan hari pahlawan atau hari-hari nasional seperti hari kemerdekaan, hari atau perayaan kemerdekaan yang dirayakan rakyat Indonesia tersebut tidak bisa lepas dari perjuangan para pahlawan nasional maupun para pejuang dari daerah-daerah kota-kota kecil. Dalam perjuangannya, para pejuang Indonesia melakukan perlawanan terhadap para penjajah yang ingin melakukan penjajahan di negara Indonesia dengan gigih dan tanpa menyerah. Membahas tentang kepahlawanan aceh juga tak luput dari para pahlawan bahkan aceh menjadi salah satu daerah yang membuat para pasukan portugis kuwalahan dalam menghadapinya.
Perlawanan para pejuang dalam usaha mengusir para bangsa asing yang ingin melakukan kolonialisme di negara Indonesia tersebut tidak semudah yang dibayangkan, melainkan mendapatkan perlawanan yang sengit dari para tentara Belanda, tentara Jepang maupun sekutu.
Namun, Cut Nyak akhirnya menyerah kepada Belanda pada 1900-an awal karna salah seorang panglimanya nya merasa iba terhadap penyakit yang di derita Cut Nyak Dhien dan membuat perjanjian agar belanda merawat beliau. Saat itulah aceh baru benar benar jatuh ketangan belanda.
Aceh menjadi wilayah nusantara terakhir yang jatauh ke tangan penjajah. Bila di katakan Indonesia di jajah belanda 350 tahun. Aceh secara utuh di jajah belanda kurang dari 50 tahun lamanya. Saat terjadi peristiwa yang bersejarah diaceh pada waktu itu, semua pejuang Indonesia melakukan pertempuran yang berupa perlawanan terhadap tentara dari negara sekutu yang ingin melakukan penjajahan di negara Indonesia yang demi kepentingan Belanda Para pejuang juga melakukan perlawan dan pemberontakan kepada para tentara Jepang dan Belanda.
Adapun siapa saja mereka yang mendapat gelar kepahlawanan, yaitu dari data yang saya kutip dari tahun 1959 hingga tahun 2022 terdapat 8 sosok pahlawan nasional yang berasal dari aceh berikut nama nama pahlawan nasional yang brasal dari aceh:
1. Laksamana Malahayati
Bernama asli Keumala Hayati, Laksamana Malahayati adalah seorang perempuan pejuang pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Pada tahun 1585–1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Ketika itu, Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (pasukan perang perempuan Aceh) untuk berperang. Pada 11 September 1599, Malahayati membunuh pimpinan pasukan perang Belanda, Cornelis de Houtman dalam sebuah pertempuran di atas kapal di perairan laut Aceh.
Makam Laksamana Malahayati berada di bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar. Ia digelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/Tahun 2017 tanggal 6 November 2017.
2. Sultan Iskandar Muda
Paduka Seri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam atau Sultan Iskandar Muda lahir tahun 1583 di Bandar Aceh Darussalam. Semasa ia menjadi sultan, Kesultanan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya. Sultan Iskandar Muda telah berhasil menyatukan seluruh wilayah semenanjung tanah Melayu di bawah panji kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam
Selama lebih kurang 30 tahun masa pemerintahannya, yaitu (1606-1636 M) dia telah berhasil membawa Kerajaan Aceh Darussalam ke atas puncak kejayaannya, hingga mencapai peringkat kelima di antara kerajaan Islam terbesar di dunia.
Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 M dan makamnya terletak dalam komplek Kandang Mas di Banda Aceh yang telah pernah dihancurkan Belanda. Yang ada sekarang ini merupakan duplikatnya hasil petunjuk Pocut Meurah isteri Sultan Mahmudsyah. Pemerintah Republik Indonesia mengangkat Sultan Iskandar Muda sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 077/TK/Tahun 1993 tanggal 14 September 1993.
3. Teungku Chik di Tiro
Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman lahir di Tiro, Pidie, pada 1 Januari 1836. Ia merupakan seorang ulama Aceh yang berjuang melawan penjajah Belanda. Ia adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda. Teungku Chik di Tiro membangkitkan semangat perlawanan rakyat Aceh dengan berjihad dalam Prang Sabi. Ia gugur pada Januari 1891 di Aneuk Galong, Aceh Besar. Makamnya terletak di Manggra, Indrapuri, Aceh Besar.
Teungku Chik di Tiro diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 087/TK/Tahun 1973 tertanggal 6 November 1973.
4. Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Aceh Besar, pada 1848. Ia adalah istri dari Teuku Umar, yang juga Pahlawan Nasional asal Aceh. Mereka dikenal sebagai suami istri yang tangguh melawan penjajah Belanda, terlibat banyak perang. Setelah Teuku Umar meninggal pada 11 Februari 1899 di Meulaboh, Aceh Barat, Cut Nyak Dhien terus memimpin pasukan Aceh bergerilya dari hutan ke hutan.
Setelah bertahun-tahun memimpin perang, kesehatannya menurun dan penglihatannya mulai kabur. Salah seorang panglimanya, Pang Laot Ali merasa iba dengan kondisinya, lalu membuat perjanjian dengan Belanda. Syaratnya, Belanda harus merawat Cut Nyak Dhien. Belanda setuju, lalu ditawankan Cut Nyak Dhien dan dibawa ke Banda Aceh. Dalam pengawasan Belanda, Cut Nyak Dhien masih berkomunikasi dengan para pejuang. Hal ini diketahui penjajah, lalu mengasingkannya ke Sumedang, Jawa Barat pada 1906.
Cut Nyak Dhien meninggal pada 6 November 1908 di pengasingan dalam usia 60 tahun, makamnya terawat baik di Sumedang hingga kini. Sebagai penghargaan terhadap perjuangan Cut Nyak Dhien, pemerintah mengangkat Cut Nyak Dhien sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 106/TK/1964 tanggal 2 Mei 1964.
5. Teuku Umar
Teuku Umar lahir di Meulaboh, tahun 1854. Ia merupakan suami dari Cut Nyak Dhien. Ia punya strategi perang gerilya yang sangat ditakuti musuh. Teuku Umar pernah berpura-pura bekerjasama dengan Belanda, lalu melawannya ketika telah mengumpulkan senjata dan uang. Teuku Umar gugur dalam perlawanan dengan pasukan Belanda, yang dipimpin Van Heutsz di Suak Ujong Kalak, Meulaboh, pada 11 Februari 1899. Ia dimakamkan di Desa Mugo Rayuek, Kecamatan Panton Reu, Kabupaten Aceh Barat. Teuku Umar diangkat Pahlawan Nasional pada tahun 1955 dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 217/1955.
6. Cut Nyak Mutia
Cut Nyak Mutia adalah seorang pejuang perempuan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Ia lahir di Keureutoe, Aceh Utara, pada 15 Februari 1870. Pada masa hidupnya, Cut Meutia berjuang bersama pasukan Inong Balee melawan penjajah Belanda. Ia gugur dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Alue Kurieng, Aceh Utara, pada 24 Oktober 1910. Makam Cut Mutia berada di kawasan hutan lindung Gunung Lipeh, Ujung Krueng Kereuto, Pirak Timur, Aceh Utara. Ia menjadi Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964. Pada Desember 2016, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikannya dalam pecahan uang kertas rupiah baru Republik Indonesia, pecahan Rp1.000.
7. Teuku Nyak Arif
Teuku Nyak Arief lahir di Ulee Lheue, Banda Aceh, pada 17 Juli 1899. Ia pernah menjadi Residen Aceh, pada tanggal 3 Oktober 1945 dengan surat ketetapan No. 1/X dari Gubernur Sumatra, Teuku Muhammad Hasan.
Teuku Nyak Arif meninggal pada tanggal 4 Mei 1946 di Takengon, Aceh. Jenazahnya dibawa ke Kutaraja dan dikebumikan di tanah pemakaman keluarga pada tepi sungai Lamnyong di Lamreung, Aceh Besar, dua kilometer dari Lamnyong, Banda Aceh
Pada 1974, Teuku Nyak Arif dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 071/TK/1974.
8. Teuku Muhammad Hasan
Teuku Muhammad Hasan lahir di Pidie, Aceh, pada 4 April 1906. Ia merupakan Gubernur Wilayah Sumatra pertama setelah Indonesia merdeka tahun 1945. Pada 7 Agustus 1945, Teuku Muhammad Hasan dipilih menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Soekarno. Setelah merdeka ia diangkat menjadi Gubernur Wilayah Sumatra pertama dengan ibukota di Medan.
Semasa hidupnya, Teuku Muhammad Hasan pernah menulis buku dan mendirikan Universitas Serambi Mekkah di Banda Aceh. Ia meninggal dunia pada 21 September 1997 di Jakarta. Ia lalu diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2006 oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 085/TK/Tahun 2006 tertanggal 3 November 2006.
Hingga hari ini kita dapat merasakan ketentraman kedamaian ini yaitu berkat perjuangan para pejuang dan pahlawan yang membela tanah airnya hanya untuk kita anak cucunya memiliki kehidupan damai tanpa adanya pertumpahan darah dan gencatan senjata lagi di era ini.
Kita sebagai anak cucunya tidak boleh melupakan sejarahnya ketika melawan para penjajah. Banyak pula pahlawan-pahlawan yang tidak masyhur yang jarang orang kenal yang telah gugur di medan perang.
Akhir kata penulis mengajak kepada teman-teman pembaca untuk tidak lupa akan sejarah karena satu bangsa akan runtuh jika lupa akan sejarahnya.
*Penulis merupakan mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam (HKI), semester VI. Pria asal Jeunieb ini hobi membaca dan menulis. Salam literasi.