Oleh: Aisyatul Fujar*
SABTU, 8 Oktober 2022 lalu bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1444 H segenap kaum muslimin memperingati kelahiran kekasih Allah, Nabi Muhammad Saw. Meski taka sing lagi sejarah tentangnya, namun, saya rasa tidak ada salahnya kita mengingat dan mengenang kembali beliau; Nabi kita yang selalu mengingat kita (baca: umatnya), yang selalu menyebut-nyebut kita, padahal beliau tidak pernah bertemu dengan kita.
Nabi Muhammad Saw lahir di Makkah pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 571 M (sekitar 1450 tahun yang lalu) yang sering disebut dengan ‘tahun gajah’. Beliau terlahir dalam keadaan yatim. Tak lama, sang ibunda pun menyusul ayahandanya. Beliaupun yatim piatu. Saat itu Rasulullah diasuh oleh sang kakek, Abdul Muthalib hingga masa remajanya.
Tak lama kemudian, sang kakek pun meninggalkannya. Hak asuh pun berpindah kepada pamannya, Abu Thalib hingga Nabi beranjak dewasa menjadi pribadi yang baik dan cerdas. Sejak kecil hingga dewasa beliau tidak pernah merepotkan orang lain dan terjaga dari perbuatan yang merugikan sekitarnya.
Menjelang usia dewasa, nabi mulai menekuni dunia bisnis. Beliau menjalin kerja sama bisnis bersama wanita kaya raya yakni Siti Khadijah. Banyaknya kegiatan perdagangan yang melibatkan mereka berdua, membuat Khadijah merasa tertarik kepada Rasulullah. Khadijah pun akhirnya mengutus seorang sahabatnya untuk menyampaikan keinginannya melamar Muhammad. Nabi pun menyampaikan kabar gembira ini kepada paman-pamannya. Salah satunya yakni, Hamzah bin Abdul Muthalib.
Pamannya lantas mendatangi rumah Khuwailid bersama dengan nabi tentunya untuk melamar Khadijah. Maka menikahlah Nabi dan Khadijah dengan tautan usia yang jauh berbeda. Usia Rasulullah lebih muda 15 tahun dari Khadijah, karena dalam satu riwayat disebutkan bahwa nabi menikah dengan Khadijah ketika berusia 25 tahun sedangkan Khadijah berusia 40 tahun.
Menjelang usianya yang ke 40 tahun, beliau sudah terbiasa memisahkan diri dari pergaulan masyarakat, dengan mengasingkan diri ke Gua Hira’. Mula-mula nabi berada di sana berjam-jam hingga kemudian berhari-hari untuk bertafakur. Bertepatan pada tanggal 17 Ramadhan, malaikat Jibril menyampaikan wahyu Allah yang pertama kepada beliau yang berarti Muhammad telah menjadi nabi. Namun, dalam wahyu pertama ini belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama.
Setelah wahyu pertama datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama, sementara Nabi Muhammad menantikannya dan selalu datang ke Gua Hira’. Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya. Wahyu itu berbunyi sebagai berikut:“ Hai orang yang berselimut, bangun dan beri ingatlah. Hendaklah engkau besarkan Tuhanmu dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak dan untuk (memenuhi peintah) Tuhanmu bersabarlah.” (Al-Mudattsir: 1-7).
Dengan turunnya perintah itu, mulailah Rasulullah berdakwah. Dimulai dengan menyampaikannya kepada kerabat terdekat karena beliau masih berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Hingga akhirnya turun perintah Allah yang mengharuskan nabi untuk berdakwah secara terang-terangan. Namun masyarakat Makkah tidak menerima dengan baik dakwah Rasulullah. Begitu banyak lika-liku nabi memperjuangkan agama Allah pada masa itu. Segala cacian, hinaan, beliau hadapi dengan sabar tanpa pernah mengeluh dan memaksa mereka memeluk agama Islam.
Orang-orang Makkah ketika itu pada memusuhi nabi karena merasa nabi telah merusak agama nenek moyang mereka. 13 tahun lamanya nabi berdakwah di Makkah. Hingga akhirnya nabi berhijrah ke Madinah, di sana, nabi menerima perlakuan yang baik dari penduduknya. Nabi pun berdakwah di Madinah selama 10 tahun lamanya. Dakwah nabi kali ini tidak sia-sia, karena ajaran agama Islam berkembang sangat pesat di Madinah. Sehingga orang-orang muslim pun semakin bertambah dan tak lagi teraniaya.
Setelah 10 tahun hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad menunaikan ibadah haji ke Makkah, yang dikenal dengan sebutan haji Wada’. Setelah berhaji, Nabi Muhammad menyampaikan sebuah pidato yang disebut sebagai Khutbah Perpisahan (Khutbah Wada’). Dalam khutbahnya Nabi berpesan kepada pengikutnya untuk tidak mengikuti aturan adat pra-Islam tertentu.
Tidak lama setelah itu, Nabi Muhammad mulai menderita sakit yang cukup parah, tepatnya pada 29 Shafar tahun 11 Hijriah, Nabi mengalami sakit kepala dan demam tinggi selama beberapa waktu setelah pulang dari haji untuk pertama dan terakhir kalinya. Kondisi ini terus dialami Rasulullah selama kurang lebih 14 hari. Meski begitu, Nabi masih menyempatkan diri untuk mengimami salat berjamaah. Hingga suatu hari, saat Rasulullah hendak pergi ke mesjid untuk salat berjamaah, sakit yang dideritanya semakin parah hingga mengahalangi nabi untuk bisa berjamaah.
Pada suatu ketika, ada seseorang mengetuk pintu rumah Rasulullah SAW, dan Fatimah membuka pintu nya sambil berkata “Untuk apa kau datang kemari? Ayahku sedang sakit”. Orang itu menjawab “Tidak! Aku harus bertemu dengan ayahmu”. Fatimah tidak mengizinkan orang itu masuk dan menutup pintunya. Kemudian Rasulullah memanggil Fatimah sambil berkata, “Ya Fatimah, dia adalah malaikat maut, dialah yang memutuskan kebahagiaan yang sementara nak, dialah yang ingin bertemu dengan ku. Inilah hari terakhirku wahai Fatimah”.
Fatimah pun tidak mampu lagi membendung air matanya, ia paham bahwa ini adalah detik-detik wafatnya Rasulullah Saw. Dengan keadaan lemah, malaikat maut menjumpai Rasulullah Saw. Beliau bertanya keberadaan malaikat Jibril, dan Jibril pun datang menjumpainya. Lalu nabi bertanya “Apa hakku di hadapan Allah SWT wahai malaikat Jibril?”. Jibril menjawab “Bahwa Allah telah menantimu di surga, seluruh malaikat telah menantimu di pintu-pintu langit untuk menyambut kedatangan ruhmu wahai kekasih Allah”.
Akan tetapi Rasulullah tidak terlihat senang mendengar hal itu, hingga Jibril bertanya kepada beliau, “Mengapa engkau tidak tersenyum, ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Aku memikirkan umatku wahai Jibril. Bagaimana dengan umatku sepeninggalanku?” Kata Allah “Sampaikan kepada Muhammad akan aku jamin umatnya dan tidak aku hinakan di yaumil qiyamah”.
Maka perlahan-lahan ditariklah ruh Rasulullah, dan beliau berkata bahwa begitu dahsyat rasa sakit sakratul maut itu, Rasulullah ingin menanggung rasa sakit seluruh umatnya kepada beliau. Bahkan di akhir hayatnya beliau masih memikirkan rasa sakit sakratul maut umatnya. Rasulullah semakin merasa sakit atas sakratul maut yang menimpanya, hingga akhirnya pada hari Senin, 12 Rabiul Awal 632 M, sang kekasih Allah berpulang kembali kepada-Nya dalam pangkuan istrinya, Sayyidah Aisyah.
Perhatian Nabi Muhammad Tentang Nasib Umatnya
Aisyah merasa kebingungan dan berlari keluar sambil mengatakan “Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah meninggalkan kita”. Seluruh penduduk Madinah merasakan seolah-olah kota itu menjadi gelap. Di antara mereka ada yang pingsan, bersimbah air mata. Tetapi Umar bin Khatab langsung angkat bicara dengan mengatakan bahwa Rasulullah tidak wafat, beliau hanya seperti Nabi Musa As yang datang kepada Allah kemudian kembali kepada kita.
Bahkan beliau mengancam akan memenggal kepala orang yang mengatakan Rasulullah wafat.Kemudian Abu Bakar lah yang menenangkan Umar sambil berkata bahwa Rasulullah hanya lah manusia biasa yang akan mati. Maka siapa yang menyembah Muhammad, ia telah wafat, tetapi siapa yang menyembah Allah, Allah akan selalu hidup tidak akan pernah mati. Barulah Umar sadar bahwa benar hari itu Rasulullah telah meninggalkan meraka semua.
Itulah kisah singkat perjalanan nabi kita, dari sejak lahir hingga akhir hayatnya yang tetap mengingat umatnya. Umatnya yang tidak pernah berjumpa dengannya, tetapi begitu dikhawatirkan dan dirindukan olehnya. Suatu hari Rasulullah pernah duduk bersama para sahabatnya dan mengatakan “Ana musytaqun bi ikhwani (aku sedang merindukan saudara-saudaraku)”. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah bukankah kami ini saudaramu?” Kata Rasulullah “Bal antum ashabi [kalian bukan saudaraku, tetapi kalian itu sahabatku]”. Lalu siapa yang dimaksud dengan ‘ikhwani’ oleh Rasulullah? Ikhwani yang dimaksud adalah orang-orang yang tidak pernah melihatku tetapi mereka mau beriman kepadaku.
Pernah suatu ketika Aisyah mendapati nabi terbangun dari tidurnya dan melaksanakan salat, tetapi nabi tidak kunjung selesai dengan salatnya hingga Aisyah bertanya, “Kapan waktu istirahatmu, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Jika aku istirahat bagaimana nasib umatku di hari kelak? Setiap harinya aku harus melakukan salat taubat 1000 rakaat dihadapan Allah”.
Aisyah merasa heran, untuk apa? Sedangkan beliau adalah orang yang terpelihara daripada dosa. Rasul menjawab bahwa beliau khawatir nanti jika ketika umatnya ditarik kembali ruhnya oleh Allah mereka belum sempat bertaubat kepada Allah, dan Rasulullah berharap solat taubat nya ini bisa menambal taubat umatnya. Masya Allah.
Bagaimana dengan kita? Ketika Rasulullah sangat mencintai dan merindukan kita. Bagaimana dengan lisan kita? Apakah senantiasa bershalawat kepada rasul? Bagaimana dengan perbuatan kita? Apakah senantiasa menjalankan sunah-sunah nya? Oleh karena itu, jika selama ini kita kurang peduli terhadap orang yang selalu merindukan kita ini, mulai dari sekarang kita bisa memperbaiki dengan memperbanyak shalawat kepadanya, mengamalkan sunah-sunahnya.
Terlebih di dalam bulan kelahirannya ini, tampakkanlah kecintaan dan kegembiraan kita menyambut hari lahirnya dengan merayakan maulid. Semoga kita bisa berkumpul dengan Rasulullah disurga Allah dan mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad di hari akhirat kelak. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali wa shahbihi ajma’in.
***
*Penulis bernama lengkap Aisyatul Fujar, seorang mahasiswi kelahiran 2003. Putri dari Bapak Ivandi Nurdin dan Ibu Nurasiah berkelahiran dan berasal dari kota Langsa. Wanita yang kerap menggunakan kacamata ini merupakan mahasiswi aktif di semester III Prodi Hukum Keluarga Islam (HKI). Selain hobi mendengar musik-musik islami, Ustadzah yang saat ini mengabdikan diri di Dayah Ummul Ayman IV ini juga menyukai dunia menulis-membaca. Salam Literasi!
Editor: MAA