Oleh: Akram Alfarasyi, SH*
Era Sekarang Sebagai New Start
“Jika dulu uang diperoleh dengan tetesan keringat, maka hari ini uang bisa mengalir melalui tombol subscribe. Jika dulu informasi berjalan tertatih, maka hari ini ia terbang ‘simsalabin’. Demikianlah fenomena kemajuan. Kehadirannya mampu mendisrupsi segala yang ada dan membawanya ke arah keterpanaan.”
Kalimat di atas bertujuan menggiring pembaca pada kenyataan bahwa kemajuan adalah suatu keniscayaan. Hari ini tampak benderang bila peradaban terus bergerak, pemikiran orang-orang kian berkembang, dan salah satu wujud safarnya ialah keadaan di masa sekarang.
Terkait hal tersebut, Yuval Noah Harari, Ph.D. dalam Homo Deus Masa Depan Umat Manusia mencatat dengan begitu rinci bahwa mesin uap adalah penanda revolusi industri 1.0, kemudian penemuan listrik sebagai gerbang modernisasi 2.0.
Kehadiran komputer memberi isyarat masuknya era 3.0 dan periode 4.0 mewujudkan penyempurnaan efisiensi dari penggunaan komputer melalui internet, AI (Artificial Intelligence), teknologi robotik dan big data. Inilah new start yang kemudian kita namai sebagai digitalisasi.
Sekarang sudah 2022, manusia yang hidup sampai detik ini adalah mereka yang berada di penghampiran seperempat abad 21. Tentu banyak fenomena yang terjadi dan tak jarang kita mengakui bila semuanya benar-benar kebaharuan dan begitu mengagumkan.
Manusia telah masuk dalam era otomatisasi, di mana komputer melekat erat pada berbagai sendi aktivitas dewasa ini. Tak cukup hanya di ruang publik, tingkat personal juga terseret untuk ikut beradaptasi. Katakanlah e-KTP, e-money, olshop dan berbagai data digital sejenis yang sama sekali sulit untuk melepas ketergantungan akan hal tersebut.
Pada dasarnya segala bentuk electronik data hanyalah digit format algoritma, namun manusia mampu mengubahnya menjadi galaksi komunikasi dengan berjuta bongkah meteoroid informasi. Inilah yang disebut disrupsi digital, keadaan di mana manusia telah sampai pada masa kemudahan dan kecepatan akses akan segala hal.
Smartphone, sosial media, e-learning, CT Scan, hanyalah seperkecil dari banyak contoh lainnya. Semua perangkat yang memuat data telah hadir dengan koneksi internet sebagai nadi operasionalnya.
Disrupsi Menyertai Kemajuan Peradaban
Disrupsi digital tidak hanya membawa berkah pada aspek komunikasi dengan menghadirkan keterbukaan informasi seluas-luasnya, namun juga berimplikasi pada aspek lainnya semisal pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Lihat saja. Di tahun 90-an, orang-orang belum mengenal kuota internet. Para pebisnis tidak dapat membayangkan sejauh mana produknya dapat dipasarkan dalam kurun yang singkat. Jajaran politisi merasa begitu sulit menebar pengaruhnya di kalangan masyarakat. Ketersediaan informasi kesehatan sangat langka di lapisan menengah ke bawah.
Budaya K-Pop yang menjadi trend hari ini bahkan sama sekali tidak dikenal oleh orang Indonesia pada abad 19 sampai pertengahan abad 20. Lantas beberapa dekade setelahnya, barulah digitalisasi mengubah keadaan dunia. Kehadiran digitalisasi mendisrupsi ketidakefektifan yang berlaku pada masa pra dan awal modern, menuntunnya menuju gaya globalisasi termutakhir di mana ruang dan waktu bukan lagi sekat penghambat.
Katakanlah bidang pendidikan dan lapangan kerja. Musibah Covid-19 tiga tahun silam memberi sinyal penting bahwa internet memiliki peran utama dalam mengelak stagnasi ilmu pengetahuan. Metode belajar daring sepenuhnya menggantikan cara luring. Guru dan siswa tidak lagi dalam keterikatan suatu tempat sebagai satu-satunya wadah belajar mengajar. Transfer ilmu pengetahuan boleh terjadi di manapun dan kapanpun yang diperlukan.
Tak jauh berbeda, problematika tenaga kerja juga mengalami hal serupa. Digitalisasi memberi harapan dan ruang gerak baru bagi masyarakat saat pengangguran menjadi masalah utama. M. Syarif Hidayatullah, senior policy analyst in Indonesia Service Dialogue mengemukakan olahan data Survei Angkatan Kerja Nasional, di mana sampai 2021 terdapat 2,6 juta pekerja yang diklasifikasikan sebagai tenaga kerja digital. Paparan ini memberi narasi bahwa media digital telah menjelma sebagai solusi dalam pentas ekonomi Indonesia.
Disrupsi Digital dan Literasi Digital
Di lain sisi, disrupsi digital yang semakin tidak terbendung membawa pesan tersirat bagi generasi zaman sekarang; muda-mudi yang belakangan disebut kaum milenial. Keberadaan kaum milenial yang berbarengan dengan disrupsi digital menjadikan mereka bak para pelaut yang mesti bersiap menerjang pusaran badai kemajuan.
Entah akan selamat atau karam karena tidak mampu mengimbangi laju peradaban. Kehadiran berbagai telekomunikasi digital mensyaratkan mereka untuk paham literasi digital dan punya kompetensi guna berlayar di jagat maya.
Milenial sendiri merupakan penyebutan bagi generasi yang lahir setelah generasi X. Sebab itu, generasi milenial kerap juga disebut generasi Y. Sebuah majalah berjudul The Me Me Me Generation memuat jika kaum milenial diistilahkan kepada orang-orang yang lahir sejak 1980 hingga awal 2000-an.
Salah satu alasan pemisahan generasi ini ialah karena munculnya tren baru keluarga di mana anggota keluarga yang sedikit mulai disukai oleh banyak orang, khususnya di negara-negara maju. Namun satu hal yang pasti, generasi milenial hadir ke dunia saat internet telah digunakan secara massal.
Tapi di sinilah sebuah masalah baru bermula. Dewasa ini tidak sedikit kaum milenial yang menafsirkan literasi sebagai minat baca saja. Literasi diidentikkan dengan buku dan sekadar bacaan singkat dalam perselancaran dunia maya. Interpretasi semacam ini malah mendistorsi makna literasi itu sendiri.
Karena sejatinya, literasi tidak melulu perihal membaca, namun arena unjuk keahlian; di mana manusia berlatih dalam mendayagunakan akal pikirannya. Tentunya menganggap literasi sebatas aktivitas membaca sama sekali bukan kesalahan. Namun perlu digarisbawahi, literasi terus mengalami reinterpretasi seiring perkembangan zaman.
Salah satu definisi komprehensif mengenai literasi ialah yang dikemukakan oleh National Institute for Literacy, di mana literasi dimaknai sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.
Makna ini secara eksplisit memuat bahwa sejatinya literasi ialah kondisi ideal seseorang yang mampu bersikap kritis terhadap apa yang dilakukannya dan media yang digunakannya. Karena itu, berbicara tentang literasi digital sama halnya mendiskusikan keahlian dalam menggunakan media digital dengan bijak dan bertanggung jawab. Bukankah hoax yang beredar di berbagai platform media sosial adalah imbas ketidakmampuan berliterasi digital dengan baik?
Beranjak dari realitas ini, milenial adalah kelompok terdepan dalam menghadapi tantangan disrupsi digital. Perubahan mode manual menuju otomatisasi haruslah mampu disikapi dengan baik. Dan tentu solusinya ialah literasi digital. Seorang milenial dituntut memahami pengoperasian media digital dan sisi etisnya sebagai basis benteng pertahanan.
Mesti tanggap menerima informasi dan pandai menganalisis fenomena kemajuan. Entah itu dari media lawas maupun elektronik berbasis internet. Baik sekadar mencari hiburan, apalagi mengonsumsi informasi. Oleh karenanya, sama sekali tidak berlebihan andai dikatakan bahwa melek digital sama pentingnya dengan melek aksara dan buta teknologi sama halnya buta huruf di zaman sekarang.
Lantas pada akhirnya, teruntuk milenial secara khusus dan pembaca pada umumnya, marilah sama-sama merenung. Di tahun 2022 ini, sudah sejauh mana kita memahami literasi digital dan mengaplikasikannya secara nyata?!
***
*Penulis merupakan putra sulung dari pasangan Bapak Amiruddin dan Ibu Rusna. Lahir pada 8 November 2000 di Kota Bakti, Pidie dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Selain megajar di Dayah Ummul Ayman Samalanga, ia juga fresh graduate STIS Ummul Ayman, Pidie Jaya. Saat ini, di samping menjalani aktivitas hariannya di dayah, pecinta membaca ini juga aktif di salah satu organisasi Banom Nahdlatul Ulama, yaitu PMII Pidie-Pidie Jaya.
**Editor: MAA