oleh: Zatun Nafis*
PERLAHAN namun pasti, tanpa kita sadari, kita sudah melewati bulan Safar. Seperti yang kita ketahui, Safar adalah bulan kedua dalam kalender hijriah. Dari segi bahasa, Safar mempunyai beberapa makna, diantaranya kosong, kuning dan nama penyakit. Sebagaimana penafsiran Ibnu Katsir dalan surah At-Taubah ayat 36 yang membicarakan tentang bilangan bulan dalam setahun, beliau menjelaskan bahwa alasan dinamakan Safar dalam artian ‘kosong’ karena kebiasaan orang Arab pada zaman dahulu meninggalkan rumah mereka untuk berperang atau bepergian jauh pada bulan tersebut sehingga rumah menjadi kosong. Menurut pendapat lainnya karena mereka banyak memerangi kafilah yang lain dan mengambil harta benda mereka sehingga kafilah tersebut menjadi kosong; tidak lagi mempunyai harta.
Dinamakan Safar dalam artian ‘kuning’ karena biasanya bulan tersebut bertepatan dengan musim panas yang menyebabkan dedaunan menjadi kering dan berwarna kuning. Adapun dinamakan Safar dalam artian ‘nama penyakit’ karena masyarakat Arab pada zaman jahiliyah meyakini adanya penyakit perut yang menyerang unta yang berpindah dari satu unta ke unta yang lain.
Pada zaman itu, masyrakat Arab mempunyai anggapan yang buruk terhadap bulan Safar.Mereka meyakini bulan Safar adalah bulan sial atau dikenal dengan tasya’um (pesimis). Bulan ini diyakini mengandung keburukan-keburukan sehingga mereka takut untuk melakukan hal-hal tertentu. Anggapan ini bahkan menjalar hingga zaman sekarang. Apakah anggapan itu benar atau hanya mitos belaka?
Sebagian orang meyakini hari-hari tertentu itu membawa keberuntungan sedangkan hari-hari yang lain mengandung kesialan. Begitu juga dengan bulan Safar yang diyakini sebagai bulan sial. Padahal sama seperti bulan-bulan lainnya, bulan Safar netral dari kesialan atau ketentuan nasib buruk. Dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW pernah bersabda:
لَاعَدْوَ وَلَاطِيَرَةَ وَلَاهَامَةَ وَلَاصَفَرَ وَفِرَّ مِن الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِن الْأَسَدِ
Artinya: “Tidak ada ‘adwa, thiyarah, hamah, safar dan menjauhlah dari orang yang kena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa”. (HR.Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas menjelaskan bahwa Nabi menyangkal beberapa keyakinan orang Arab zaman dahulu mengenai takdir, diantaranya yaitu ‘adwa, thiyarah dan hamah. ‘Adwa adalah keyakinan tentang adanya wabah penyakit yang menular dengan sendirinya, tanpa proses sebelumnya dan tanpa izin Allah Swt. Thiyarah adalah keyakinan tentang nasib setelah melihat burung. Dalam masyarakat jahiliyah ada mitos yang mengatakan jika seseorang keluar rumah dan melihat burung terbang di sebelah kanannya, maka tanda nasib baik akan datang.
Tetapi jika seseorang melihat burung terbang di sebelah kirinya, maka tanda nasib sial akan segera menghampirinya sehingga sebaiknya tidak melanjutkan perjalanan. Sedangkan ‘hamah’ adalah sebuah keyakinan bahwa ketika terdapat burung hantu hinggap di atas rumah, maka pertanda nasib sial akan tiba kepada si pemilik rumah tersebut. Begitu juga halnya dengan bulan Safar yang diyakini sebagai bulan yang mendatangkan malapetaka.
Hadis di atas secara umum juga menjelaskan bahwa kebaikan, keburukan, kenikmatan dan musibah tidak disebabkan oleh makhluk apapun melainkan semuanya atas kehendak Allah. Dalam Islam, tidak ada hari, bulan, atau tahun yang mengandung kesialan, karena waktu itu adalah makhluk Allah. Waktu tidak bisa mengendalikan nasib, tetapi dia berada dalam kendali Allah.
Rasulullah Saw sendiri menyangkal anggapan buruk masyarakat jahiliyah tersebut, sebagaimana Hadits yang telah disebutkan di atas dan juga dengan sejumlah peristiwa penting yang dialami Nabi terjadi pada bulan Safar. Diantaranya yaitu pernikahan Nabi dengan Sayyidah Khadijah, Nabi menikahkan putrinya Sayyidah Fatimah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, hingga Nabi memulai hijrah dari Mekkah ke Madinah juga pada bulan ini.
Bulan Safar juga identik dengan hari Rabu terakhir di bulannya. Mayoritas masyarakat muslim Indonesia mengadakan beberapa tradisi pada hari tersebut, diantaranya seperti ‘Rabu abeh’ di tanah Aceh, ‘rebo wekasan’ di wilayah Jawa, bahkan ada tradisi membuat ‘tajin sappar’ dari masyarakat Madura yang nantinya dibagikan kepada tetangga sekitar. Semua tradisi tersebut tujuannya adalah meminta perlindungan dan pertolongan dari Allah agar dijauhkan dari segala penyakit dan malapateka yang dipercayai diturunkan pada hari tersebut.
Asal-usul adanya tradisi di hari Rabu terakhir bulan Safar ini bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Addairabi dalam kitabnya Mujarabat Ad-Dairabi, sebagaimana disebutkan juga dalam kitab Kanzun Najah Was-Surur: seorang ahli kasyaf berkata, “Dalam setiap tahun turun 320.000 bencana.Semua itu terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.
Maka hari itu menjadi hari paling sulit dalam setahun. Maka barang siapa yang mengerjakan shalat 4 rakaat pada hari itu dan membaca dalam setiap rakaat darinya Al-Fatihah, Surah Al-Kautsar 17X, Surah Al-Ikhlas 5X, Surah Muawwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas) 1X, dan membaca doa sehabis salam, maka Allah melindunginya dengan kemurahan-Nya dari semua bencana yang turun di hari itu dan tidak terjadi suatu bencana dari bencana itu hingga tahun itu berakhir.
Ada beberapa amalan juga yang dianjurkan untuk dikerjakan, diantaranya istighfar, sedekah dan berdoa, karena amalan-amalan tersebut dapat menjauhkan dari bala dan malapetaka. Kita juga dianjurkan untuk melakukan setiap pekerjaan dengan perencanaan yang matang dan ikhtiar yang maksimal. Selebihnya adalah berdoa dan tawakal kepada Allah Swt. Sedangkan keberuntungan atau kesialan yang didapat itu merupakan lanjutan dari proses tersebut. Untuk terbebas dari penyakit, kita harus membudayakan hidup bersih dan sehat. Agar lulus ujian, seorang pelajar harus belajar dengan serius dan tekun.
Menolak adanya ‘bulan sial’ itu menjadikan kita sebagai pribadi yang wajar dan tidak malas dalam berikhtiar. Sebagai seorang hamba kita didorong untuk berencana, berusaha dan berjuang. Adapun hasil akhirnya kita serahkan kepada Allah. Dengan demikian ketika kita mendapatkan hasilnya, kita akan bersyukur atas apa yang Allah kehendak. Jika mengalami kegagalan, kita pun tidak langsung berputus asa, karena keberuntungan dan kegagalan itu bisa terjadi kapan saja; tanpa dikaitkan dengan hal apapun, tidak mesti pada bulan-bulan tertentu.
Keberuntungan itu bukan hanya diukur dari segi materialistis saja. Tetapi pada hakikatnya, keberuntungan seorang hamba itu adalah ketika dia bisa mengisi waktunya untuk taat kepada Allah dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi orang lain. Sebaliknya, kerugian itu terjadi saat seseorang menyia-nyiakan waktunya, termasuk ketika bulan-bulan mulia sekalipun. Bahkan hari sial itu adalah hari dimana seseorang bermaksiat. Tidak ada istilah ‘bulan sial’. Yang ada adalah apakah perbuatan kita membawa maslahat atau mudharat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Semoga kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik, bisa mengatur waktu untuk hal-hal yang bermanfaat, selalu berusaha, tawakal kepada Allah dan juga bersyukur atas hasil yang didapat. Dengan demikian, kita pun akan merasa bahagia, karena terkadang bukan kebahagiaan yang membuat kita bersyukur tetapi dengan bersyukurlah kita akan bahagia. Wassalam.
***
*Penulis merupakan mahasiswi aktif di Semester III Prodi Hukum Keluarga Islam (HKI) STIS Ummul Ayman. Ustadzah kelahiran Lueng Teungoh, Ulee Gle, Pidie Jaya ini adalah putri dari pasangan Tgk. H. Khalid dan Ummi Zahratul Aini. Selain suka menulis, dewan guru di Dayah Ummul Ayman IV ini juga menggemari membaca. Salam Literasi!
**Editor: MAA