Oleh: Abdul Hamid M. Djamil, Lc., M.Ag
Beberapa waktu lalu, saat diminta mengisi ceramah subuh pada sebuah masjid di kawasan Kota Beureunuen, saya menyampaikan materi tentang sistem ekonomi Islam, mengambil bagian dalam mensosialisasikan ekonomi Islam kepada jamaah terkait upaya Pemerintah Aceh dalam membumikan ekonomi Islam, dengan menginstruksikan seluruh lembaga keuangan konvensional di Aceh untuk konversi ke sistem syariah, seperti tertuang dalam Kanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018.
Saya mendapatkan fenomena yang seharusnya tidak boleh terjadi, mengingat diskursus ekonomi Islam terutama masalah Bank Islam sudah mulai digalakkan sejak 1940-an, dan ajaran Islam dalam bidang ekonomi di Indonesia sudah mulai masuk dalam sistem sejak tahun 90-an yang ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat (AM Saefuddin: 2011, 176-182), di mana beberapa orang jamaah menyampaikan dengan penuh takjub setelah selesai ceramah, “ternyata ada ya ekonomi Islam.”
Realita di atas menjadi motivasi bagi ekonom atau penggiat kajian ekonomi Islam untuk lebih giat lagi dalam mensosialisasikannya kepada masyarakat yang masih sulit menjangkau sinyal internet, dan sebagai bentuk belum maksimalnya diskusi-diskusi tentang ekonomi Islam di kampus-kampus, di mana masyarakat kurang beruntung yang berpeluh kesah di kampung-kampung masih ada yang belum tahu ekonomi syariah itu ada. Padahal mayoritas mereka bekerja sebagai petani lebih sering terlibat dalam praktik ekonomi Islam dalam konteks yang lebih luas, mulai dari proses mendapatkan benih padi, akad yang digunakan dalam pengelolaan sawah, sampai retribusi wajib dalam bentuk zakat dari pendapatan mereka setiap panen.
Dalam aspek yang lebih sederhana, sistem ekonomi Islam selalu menyertai kehidupan umat Islam, tapi sering dilewati tanpa sadar jika belum mendapat pencerahan. Bahkan dalam ibadah puasa Ramadhan, terdapat prinsip-prinsip ekonomi Islam yang membuatnya berbeda dengan sistem ekonomi konvensional.
Hikmah Puasa
Hampir semua ajaran Islam yang sifatnya anjuran atau larangan, Allah Swt menyebutkan hikmahnya dalam Alquran. Perintah meminta izin saat ingin masuk ke dalam rumah orang lain dan dianjurkan untuk pulang jika tidak diizinkan masuk, Alquran menyebutkan hikmahnya dengan “Itu lebih bersih bagimu” (QS: An-Nur: 28). Perintah menjaga pandangan dari hal haram, hikmahnya disebutkan dengan “Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka” (QS: An-Nur: 30). Demikian halnya dengan kewajiban puasa menahan lapar dan dahaga sehari penuh, hikmahnya adalah “Mudah-mudahan kamu bertakwa” (QS: Albaqarah: 183).
Mengenai puasa, Musthafa Siba’i dalam “Falsafah Shiyam” menyebutkan beberapa hikmahnya, antara lain:
Pertama, puasa bulan kebenaran. Kebenaran dalam risalah Islam menduduki posisi istimewa. Dari sembilan puluh sembilan nama Allah Swt (Asmaul Husna), al-Haq (kebenaran) salah satu darinya. Risalah Islam yang dibawa Rasulullah Saw penutup segala risalah langit salah satu misinya ialah menggiring umat manusia ke jalan yang benar (QS: An-Nisa’: 170). Dengan demikian, kebenaran pertama yang disampaikan Islam adalah mengajak manusia menyembah Allah Swt, Tuhan yang menciptakan, serta penganugerah rahmat dan nikmat kepada manusia. Jika kebenaran pertama sudah diaplikasikan, manusia enggan menyembah selain-Nya, dan menyakini apapun yang terjadi di jagad raya sesuai dengan iradah dan qudrah Allah Swt.
Tarbiyah puasa dapat mempersadar manusia jika mereka ciptaan Allah Swt. Kelaparan dan dahaga dalam menjalankan ibadah puasa membuat manusia berpikir butuh kepada makanan dan minuman. Tanpa makan minum, orang kaya dan penguasa derajatnya sama sebagai makhluk lapar dalam kerajaan Allah Swt. Dalam kondisi ini manusia seharusnya sadar bahwa yang menanggung rezeki mereka adalah pencipta mereka. Hal ini dipertegas dengan doa yang selalu dibaca orang berpuasa saat berbuka: “Ya Allah, puasaku untukmu, dan dengan rezekimu aku berbuka.”
Kedua, Ramadhan bulan kemerdekaan. Hakikat kemerdekaan bukan dengan melepaskan semua peraturan hidup. Jika kemerdekaan didefinisi seperti itu, manusia akan terjerumus dalam pengingkaran dan kesesatan, dan dalam kondisi tertentu ia akan menyekutukan Allah. Bahkan untuk memperoleh kemerdekaan hidup manusia kadang perlu mengikat diri dengan peraturan. Oleh karena itu, Islam memaknai hakikat kemerdekaan dengan seseorang yang sanggup melakukan sesuatu tapi dia tidak mau melakukannya karena pilihannya sendiri.
Penjabaran dari hakikat kemerdekaan Islam tersebut didapatkan dalam madrasah ramadhan. Umat Islam menjalankan puasa dalam keadaan lapar dan dahaga. Padahal jika mau, mereka mampu untuk melahap makanan di hari-hari puasa. Tapi hal itu tidak dilakukan karena melakukan perintah Allah Swt dengan menahan makan minum atas pilihan mereka sendiri. Inilah hakikat kemerdekaan, tidak makan minum karena pilihan sendiri bukan paksaan orang lain.
Bangunan Ekonomi Islam
Jika kita mengkaji Islam lebih mendasar, maka kita menemukan bahwa ajaran Islam termasuk ekonomi sesunggunya didasarkan pada prinsip Tauhid, Allah yang menjadikan pusat kehidupan dan kematian, yang menjadi awal dan akhir segala sesuatu adalah Tuhan yang satu. Prinsip Tauhid pada dasarnya tidak hanya berdimensi teologis, tapi juga berdimensi kosmologis dan antropologis. Hal ini karena teologi Tauhid yang menegaskan bahwa Tuhan itu satu adalah prinsip yang mendasari segala ciptaan-Nya, baik alam semesta seisinya, maupun manusia dengan segala keanekaragamannya (Musa Asy’arie: 2015).
Ekonomi Islam tidak bisa dilepaskan dari dimensi teologis karena ekonomi pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang dilakukan manusia sebagai ciptaan Allah. Sebagai hamba Allah, maka kegiatan ekonomi dalam Islam adalah bagian dari penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dengan demikian ekonomi Islam dalam mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber-sumber yang ada di alam semesta tidak boleh berdampak pada kerusakan alam dan melahirkan kerusakan sosial, sebaiknya harus memberi kemanfaatan bagi kehidupan bersama dan menjadi bentuk kesalihan sosial yang meluas.
Untuk mewujudkan misi tersebut, ekonomi Islam sebagai sebuah rumah butuh kepada pondasi-pondasi yang menopangnya. Di antara pondasinya terdapat dalam puasa Ramadhan, yaitu: pertama, sumber daya alam milik Allah. Dalam hal ini setiap pribadi Muslim dalam praktik ekonominya harus meyakini atau membenarkan bahwa semua kekayaan, hak milik, dan sumber-sumber pemasukan merupakan milik Allah. Manusia berbuat dan berkuasa terhadap sumber-sumber kekayaan hanya dalam batas keinginannya saja, tapi hasilnya diserahkan kepada Allah.
Oleh karena itu, konsep mencari rezeki dalam ekonomi Islam misalnya, setiap pribadi Muslim dianjurkan untuk berniat memenuhi kebutuhan keluarganya. Maka besar atau kecil rezeki yang didapatkan ia mendapat pahala di sisi Allah. Karena inti dari kegiatan ekonomi dalam Islam tidak terbatas di dunia, tapi mewujudkan falah di akhirat.
Kedua, kemerdekaan (al-hurriyah). Salah satu syarat penting untuk memperoleh pendapatan dalam ekonomi Islam adalah bekerja (al-Sadr: 1987). Islam membentangkan kesempatan kerja secara merdeka kepada seluruh individu tanpa membedakan ras, kelas ekonomi dan struktur tubuh sesuai dengan skill mereka masing-masing. Islam juga membolehkan seseorang yang rajin bekerja memperoleh hasil lebih banyak daripada yang bermalas-malasan. Tapi ekonomi Islam membuat mekanisme kerja yang membuat dampak kerugian terhadap orang lain dengan cara illegal tidak dibenarkan, seperti pencurian, perjudian, penipuan, dan penimbunan. Manusia mungkin mampu saja melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan itu dalam interaksi ekonominya, tapi di saat mereka memilih untuk tidak melakukan, berarti ia memiliki hakikat kemerdekaan di mana menjadi prinsip hidupnya yang didapatkan dari tarbiah Ramadhan.
Nilai-nilai dasar seperti itu sebenarnya sudah mulai dilakukan umat Islam di Aceh jauh sebelum ekonomi Islam dikembangkan sebagai sebuah disiplin ilmu pada 1960. Tapi karena kajian-kajian ekonomi Islam yang selama ini terkesan dilakukan di kota-kota membuat masyarakat pinggiran mengabaikan diskursus penting terkait peran ajaran agama mereka dalam bidang ekonomi yang digadang-gadangkan sebagai alternatif terhadap sistem kapitalis dan sosialis hari ini. Kita berharap pelatihan atau kajian sejenisnya terkait ekonomi Islam diberikan perhatian khusus untuk masyarakat pedesaan, karena mereka sangat perlu dirangkul dalam membumikan ekonomi Islam di Aceh dalam aspek yang lebih luas, tidak hanya di lembaga keuangan. Semoga!
***
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Filsafat Ekonomi Islam di Islamic World Research and Studies Institute-Afrika, Awardee Doktoral MORA Scholarship Luar Negeri 2018, dan Dosen Tetap pada Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Ummul Ayman Pidie Jaya.