UINSU Medan – Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, Medan menggelar Sidang Promosi Doktor pada Bidang Hukum Islam, oleh Munawarsyah, S.Hi., M.H di Gedung Pascasarjana UINSU, Selasa (13/8/2024). Dengan selesainya siding, STIS Ummul Ayman bertambah jumlah doktor, setelah sebelumnya, Dr. Tgk. H. Muhammad Zukhdi, Lc., MA, Dr. Tgk. Januddin, MA dan Dr. Deni Mulyadi, MA.
Sidang tersebut dipimpin oleh Prof. Dr. Syukur Kholil, M Ag. dengan Sekretaris sidang, Prof. Dr. Nurussakinah Daulay, M. Psi. Sementara Promotor, Prof. Dr. Asmuni, M. Ag dan Co Promotor, Dr. Hasan Matsum, M.Ag. Adapun Penguji Utama yakni, Dr. Arifuddin Muda Harahap, M. Hum dan Penguji kedua, Dr. Mhd Yadi Harahap, M.H.
Pria peraih beasiswa 5000 doktor dari Kemenag 2017 ini berhasil meraih gelar Doktor (S3) dengan Predikat Sangat Memuaskan setelah mempertahankan disertasinya berjudul “Kadar Diyat Pembunuhan Dalam Qanun Jinayat Aceh Menurut Ormas Islam di Aceh”.
Dalam paparannya, Munawarsyah mengatakan, Aceh sebagai daerah istimewa yang juga melaksanakan hukum Islam dalam Qanun Jinayat nomor 6 tahun 2014. Keberadaan Syariat Islam di Aceh menandai upaya untuk menerapkan ajaran Islam secara lebih konsisten dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang hukum, sosial, dan moral.
Qanun Jinayat secara materil tidak mengatur tentang pidana pembunuhan yang dapat dikenakan qishas dan diyat. Sedangkan di dalam penjelasan umum qanun pembahasan tentang diyat dimunculkan. Terkait dengan diyat, dalam penjelasan Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun 2014 pada bagian umum bahwa diyat yang dimaksud merupakan ‘uqubat (semacam ganti rugi yang dibayarkan pelaku kepada korban penganiayaan atau keluarga korban pembunuhan). Jumlah diyat dalam Qanun Jinayat Nomoer 6 Tahun 2014 dikurangi 50% dari ketentuan asal atas dasar pertimbangan ekonomi masyarakat saat ini.

Dr. Munawarsyah, S.Hi., M.H berfoto bersama Penguji selesai sidang. []
“Dalam beberapa penelusuran yang dilakukan Promovendus dalam penelitian ini juga menunjukkan tidak semua pemuka agama mengetahui tentang pengurangan yang terjadi dalam Qanun tersebut. Meskipun argumentasi yang dibangun dalam bagian umum qanun didasari pada faktor kesejahteraan masyarakat Aceh, namun masih dianggap kurang relevan bagi sebagian pemuka agama yang tergabung dalam ormas Islam,” ujarnya.
Setelah menjelaskan Panjang lebar, Munawarsyah mengambil Kesimpulan bahwa jumlah diyat secara spesifik dalam Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun 2014 secara spesifik belum diatur secara rinci. Namun terkait dengan jumlah maksimal diyat atau denda dalam qanun disebutkan bahwa adanya pengurangan 50% dari jumlah hukum asal, yang berarti bahwa jika dia pembunuhan dibayar maksimal sejumlah 100 ekor unta maka menjadi 50 ekor unta.
Begitu juga, dalam kaitannya dengan penentuan kadar maka ada 3 cara pandangan dalam menentukan kadar diyatnya. Pertama Diyat yang dibayar menggunakan indikator pengeluaran komoditas, Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Menggunakan Indikator hewan ternak kerbau.
Namun, sebagian besar dari tokoh dalam Ormas Islam di Aceh tidak mengetahui secara pasti tentang pengurangan 50% tersebut. Namun secara keseluruhan kesemua ormas Islam yang meliputi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah (MU) dan Al Wasliyah menolak pengurangan yang telah dirumuskan dalam qanun, karena tidak sesuai dengan syariat,” ujarnya mengakhiri.