Oleh: M. Aidil Adhaa, Lc*
Ruangan itu menjerit. Puluhan tamu undangan menyesakinya. Di antara orang tua, anak muda hingga anak-anak kecil. Seorang Syaikh sedang duduk bersila, dikerumunin tetamu itu. Sembari mengobrol, sesekali senyuman tersungging di wajahnya.
“Nyankeuh, Teungku. Ka trep ka meujak, nyo ban trok langkah [ya gitu, Teungku. Udah lama mau ke tempat ini, baru sekarang bisanya].” Suara seorang wanita tua yang baru masuk ke ruangan. Intonasi dan gayanya yang unik, membuat tawa semua tamu.
“Waled, nyan cuco Tgk. Syiek Ditiro [Waled, itu cucunya Teungku Syiek Ditiro],” sahut salah seorang tamu.
Hurriah binti Teungku Muhammad Amin. Misyik Houri, begitulah kami akrab menyapanya. Warga desa Pante Garot, Indrajaya, Pidie. Hari itu, Rabu, 19 Juni beliau mengantar cucunya ke Dayah Ummul Ayman Samalanga. Ia duduk tepat di samping Waled.
“Man droen soe ngon Teungku Syik Ditiro? [Tros kamu siapanya Tgk Syik Ditiro?]” tanya Waled.
“Nyo meunoe hai Teungku. Neudengo lon peujeulaih dilee [Begini Teungku, dengerkan saya jelasin dulu],” ujarnya, “Ayah lon dua boeh nan. Nan drogeuh Muhammad Amin, teuma geu gantoe, jeut keu Abdullah [Ayah saya punya dua nama. Nama aslinya Muhammad Amin, kemudian diubah jadi Abdullah],” lanjutnya.

Ayahanda Waled sedang berbincang dengan anak-anak baru
Tetamu yang lain senyum-senyum melihat gaya dan keberaniannya itu. Memang, tak semua tamu berani ceplas-ceplos ketika berbicara dengan Waled. Postur kearaban dan charisma Waled membuat sebagian orang takut berinteraksi dengan ‘Ayah 1000 Anak Yatim’ itu. Misyik Hauri membuktikan keberaniannya. Jiwa berani yang diwariskan sang pahlawan.
“Na teuingat neuh Teungku, awai na sidroe aneuk manyak yang mantong udep lam lumueng mak ieh, sedangkan mak jih ka meuninggai di gunong Halimon?” tanyanya.
“Oewh Cut Mirah Gambang nyan?” tanya Waled. “Nye,” jawab Misyik. “Aneuk manyak nyan, nyankeuh yah lon. Bek hana neuturi,” jelas Misyik Hauri, sembari disambut tawa-tamu yang lain. Ruangan yang ber-AC terasa hangat di hari itu.
“Oewh ka, ka. Yang na ditipek bak makam di Meureu [ya, ya. Yang fotonya ada di pemakaman Meureu],” ujar Waled.
Setelah asyik mengobrol, Waled langsung menepungtawari cucu Misyik Hauri. Bersamaan dengan beberapa calon santri baru, dari Pante Garot juga. Jalsah diakhiri dengan salam-salaman. Tak hanya itu, Waled juga menghadiahi selembar sarung kepada Misyik Houri.
“Alhamdulillah ya Allah. Beu beureukat nyo,” desah Misyik Hauri, mengharapkan keberkatan dari Allah Swt.
Begitulah keakraban dan kehangatan seorang ulama dengan cucu-cicit para pejuang. Meski baru pertama kali bertemu, namun jalsah itu sangatlah berkesan dan menjadi pelajaran bagi kita bahwa para ulama dan umara bersama-sama menggandeng tangan dan membahu dalam memajukan pendidikan dan memantapkan penegakan syariat Islam yang kaffah di bumi Aceh tercinta. []
***
*Penulis adalah salah seorang staf akademik STIS-UA yang juga merupakan alumnus Universitas Al Ahgaff, Tarim, Yaman